• +622159576882 |+622159576730
  • [email protected]

    Profil Penggagas Pondok Pesantren Daar el-Qolam

    K.H. Qasad Mansur & Hj. Hindun Mastufah

    Kemegahan dan kebesaran Daar el-Qolam yang kita saksikan saat ini tak lepas dari sentuhan H. Qashad Mansyur. Melalui gagasan-gagasannya berdirilah Daar el-Qolam sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki misi mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Putra dari pasangan Bapak H. Markai dan Hj. Sujinah memulai pendidikannya di Jamiyyatul Khair Tanah Abang dan sebuah pesantren di Caringin Pandeglang. Masa mudanya turut aktif dalam dunia politik lewat Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi, sebuah partai politik berlandaskan Islam di bawah kepemimpinan H. Natsir dan HAMKA yang sangat berpengaruh pada era Orde Lama.

    Menikah dengan Hj. Hindun asal Pandeglang, beliau dikaruniai 12 orang anak 7 putra dan 5 putri. Sosok ayah yang pendiam namun memiliki ketegasan. “Lewat sifatnya tersebut banyak orang yang justru menyeganinya, bukan takut padanya” tutur Hj. Enah Huwaenah putrinya yang keenam.

    Lukisan Potret H. Qasad Mansur, Penggagas berdirinya Pondok Pesantren Daar el-Qolam
    Lukisan Potret H. Qasad Mansur, Penggagas berdirinya Pondok Pesantren Daar el-Qolam
    Hj. Hindun Mastufah binti Rubama, istri K.H. Qasad Mansur
    Hj. Hindun Mastufah binti Rubama, istri K.H. Qasad Mansur

    Pada tahun 1939 beliau mendirikan Madrasah Masyariqul Anwar (MMA) ber​sama beberapa tokoh masyarakat sekitar Gintung. Antusias yang besar untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang telah dirintisnya, maka ia memutuskan putra pertamanya untuk menimba ilmu di Pesantren Gontor, agar kelak dapat mendirikan lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Saat menunggu pendidikan putra pertamanya selesai, beliau mendapat tanah wakaf dari Hj. Pengki, sebelumnya beliau ditawarkan tanah sawah atau daratan, ia memilih daratan.

    Keinginan yang menggebu-gebu untuk mendirikan pesantren semakin mengusik hatinya, pada saat ia berkunjung ke Gontor melihat para santri turun dari masjid usai menunaikan shalat.

    Setelah Rifa’i Arief menyelesaikan pendidikan dan pengabdiannya pada tahun 1967, H. Qashad Mansyur segera merealisasikan gagasannya yang selama itu terpendam. Sebuah dapur tua dijadikannya tempat belajar santri yang kala itu berjumlah 22 orang. Tantangan dan hambatan banyak dihadapi bersama putranya, tetapi dilaluinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan hati.

    Kiai yang tidak bisa menulis dan membaca huruf latin, namun menguasai bahasa Arab Melayu dipanggil Yang Kuasa pada tahun 1976 di kediamannya dan dimakamkan di Kampung Songgom, Cikande, Serang, Banten. Beliau meninggal setelah keinginan luhurnya terwujud. Untuk mengabadikan jasa dan perjuangannya dinamakan salah satu ruang belajar berlanta​i tiga dengan namanya, Al-Manshur.

    %d bloggers like this: