• +622159576882 |+622159576730
  • [email protected]

    Artikel dan Berita Pondok Pesantren Daar el-Qolam

    Menumbuhkan Budaya Literasi Melalui Program “Reading Passport” Sebagai Upaya Melawan Hoax

    Waspada Hoax: Saatnya sikapi Informasi dengan Bijak

    Selama kurun waktu lima tahun terakhir, isu hoax atau berita bohong sering bermunculan dengan intensitas semakin hari semakin melimpah. Disadari ataupun tidak, setiap orang yang memiliki akses untuk mengolah informasi melalui media, khususnya pada media sosial (medsos), pasti pernah mendapatkan “berita bohong” terkait isu yang merebak di kalangan masyarakat pada umumnya. Isu yang sering menjadi bahan hoax yang sering kita temukan–setidaknya dua tahun kebelakang–adalah soal politik. Salah satu contoh hoax terkait politik adalah upaya untuk merendahkan nama baik Presiden Republik Indonesia Bapak. H. Joko Widodo terkait keturunan dari nenek moyang seorang PKI. Bahkan, Bambang Tri Mulyono dapat mengarang sebuah buku yang disinyalir mendiskreditkan presiden dengan bukunya yang berjudul “Jokowi Undercover”. Pada akhirnya, polisi dengan tanggap mempidanakan penulis buku tersebut sekira bulan Desember 2016 lalu, dengan alasan bahwa apa yang tertulis di dalam buku tersebut adalah pembohong publik dan tidak berlandaskan temuan-temuan (analisa) langsung terhadap objek buku tersebut (Jokowi dan Keluarga), disamping itu juga buku tersebut terasa tendensius dan merugikan presiden dengan pencemaran nama baik.

    Upaya-upaya seperti ini merupakan tindakan yang merugikan objek dari pemberitaan/informasi yang disampaikan dan juga merugikan para pembaca dan masyarakat umum. Dengan adanya berita bohong, masyarakat menjadi resah dan memungkinkan terjadinya perpecahan antar warga, suku maupun ras.

    Berita bohong (hoax) banyak beredar di kalangan masyarakat melalui media sosial. Cara menganalisa berita bohong atau benar bisa dimulai dengan mudah, biasanya berita hoax berisikan isu-isu yang bersifat provokatif dan kontroversial. Jika kita menemukan sebuah berita, baiknya kita meninjau terlebih dahulu judul pemberitaan. Judul berita bohong/palsu biasanya didasarkan pada opini dan bukan fakta. Langkah selanjutnya, yang perlu diperhatikan bahwa berita bohong biasanya dicantumkan pada situs yang kurang terpercaya dan gratisan, karena berita tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, setiap orang dapat memposting tulisan atau berita tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Sebagai media online yang kredibel, tentu tidak mungkin menggunakan layanan gratis sebagai media untuk mempublikasikan berita. Selain dua cara tersebut, pembaca bisa menganalisa berita apakah fakta atau opini. Berita yang benar bukan berdasrkan opini, melainkan fakta yang terjadi di lapangan, kemudian dilaporkan dalam sebuah berita yang berlandaskan kejadian sebenarnya, sedangkan opini tentu belum sepenuhnya bisa dibenarkan.

    Langkah lain yang dapat ditempuh untuk menganalisa beritu yaitu dengan mengomparasikan berita satu dengan yang lainnya, carilah sumber berita yang terpercaya, misalnya dengan mengomparasikan berita tersebut dengan media nasional yang sudah terkenal dan kredibel. Selain itu, masih banyak langkah lain untuk mengetahui sebuah berita itu bohong/palsu atau benar, intinya kita tidak “menelan mentah-mentah” informasi yang kita terima.

    Berita bohong dapat dengan mudah beredar di kalangan masyarakat. Salah satu media yang sering kita temukan sebagai alat untuk menyebarkan berita bohong adalah media sosial. Sejak munculnya media sosial sebagai jejaring komunikasi vertikal antar personal dan golongan, media sosial menjadi opsi pertama untuk dijadikan alat untuk menyampaikan pesan. Semakin hari, media sosial berkembang dengan segala kebutuhan para pengguna. Yang populer di kalangan masyarakat diantarnya adalah Facebook, Twitter, Whatsapp dan lain-lain.

    Media sosial menjadi alat komunikasi yang banyak digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikas saat ini. Maraknya smartphone yang beredar di pasaran dan dapat dimiliki dengan harga murah, memudahkan masyarakat untuk mengakses media sosial. Di kalangan remaja umumnya, smartphone menjadi sebuah kebutuhan primer selain makanan dan minuman. Tiada hari tanpa smartphone, bahkan ada istilah bahwa smartphone adalah separuh jiwa seseorang, jika smartphone tertinggal atau hilang, seakan separuh jiwa pemilik smartphone tersebut juga ikut hilang. Smartphone atau telepon pintar memungkinkan penggunanya dapat mengakses secara maksimal apa yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dan mencari informasi. Tidak sedikit pekerjaan kantor dapat diselesaikan melalui smartphone, diantaranya emaling, Database editing, Video editing dan lain sebagainya.

    Smartphone memudahkan kita untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan waktu dan tenaga untuk melakukan sebuah pekerjaan pada sistem komputer, mengadakan pertemuan (gathering), berkomunikasi langsung (tatap muka) dan sebagainya, sekarang mulai perlahan dapat dilakukan hanya dengan menggunakan smartphone. Selain smartphone menjadi alat yang simple, juga memudahkan pengguna, membuat waktu efisien dan tenaga lebih sedikit, karena dengan smartphone pekerjaan yang membutuhkan komputer seperti office work, data editing, emailing, searching dapat dikerjakan dengan smartphone. Contoh keuntungan lainnya, seperti pekerjaan yang membutuhkan waktu, tenaga juga tempat, sekarang bisa dilakukan dengan smartphone, misalnya mengadakan rapat secara virtual (virtual meeting).

    Smartphone memiliki keunggulan yang sangat banyak. Namun, diantara kelebihan tersebut, smartphone juga dapat dijadikan alat untuk kegiatan-kegiatan yang menyimpang, seperti: mengakses situs non-edukatif, membuat berita atau informasi bohong dan lain sebagainya. Kehadiran media sosial sangat membantu masayarakat dalam berkomunikasi, namum disamping itu, kehadiran media sosial juga bisa menjadi “ancaman” terutama pada hal penggunaan media sharing berita atau informasi yang tidak dapat dibendung. Ini mengakibatkan banyaknya informasi yang didapat pengguna smartphone sangat berpariasi. Mulai dari informasi positif, sampai dengan berita negatif atau berita bohong/palsu.

    Remaja, khususnya pelajar dan mahasiswa adalah pengguna smartphone aktif terbanyak. Menurut analisis Lembaga Riset Digital Marketing Emarketer yang dikutip dari Kominfo (www.kominfo.go.id) memperkirakan bahwa pengguna smartphone di Indonesia pada tahun 2018 akan melebihi 100 juta orang. Dengan ini, jika sesuai prediksi, maka Indonesia menjadi negara dengan pengguna smartphone aktif terbanyak keempat di dunia setelah Cina, India dan Amerika.

    Upaya pemerintah menanggulangi masalah hoax yang beredar di kalangan masyarakat terutama melalui media sosial terus dilakukan dengan beberapa program diantaranya adalah mengedukasi masyarakat tentang bahaya hoax, melayani aduan masyarakat, mendukung gerakan “Turn Back Hoax”, bekerjasama dengan Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) dengan menciptakan aplikasi “anti hoax” kemudian ditindaklanjuti oleh Kominfo dan seterusnya.

    Selain tanggung jawab pemerintah, persoalan terkait penanggulangan berita bohong di kalangan masyarakat adalah juga tanggung jawab masyarakat bersama. Masyarakat harus turun andil dalam menghentikan praktik pembohongan publik dengan tidak mambuat dan atau menyebarkan berita bohong.

    Di kalangan pelajar, ada sebuah gagasan yang sangat penting sebagai salah satu solusi yang ditawarkan untuk mereduksi isu hoax beredar di kalangan pelajar dan juga masyarakat akademik, yaitu dengan menumbuhkan budaya literasi melalui program “reading passport”. Hal ini dirasa sangat membantu siswa dalam mempersiapkan dirinya untuk menganalisis informasi yang mereka dapatkan dari berbagai sumber agar tidak terpengaruh berita bohong.

    Ada sebuah istilah pesantren yang menjadi salah satu gerakan positif berkembangnya budaya literasi ini yaitu tabayyun (diambil dari bahasa Arab, yang memiliki arti mencari penjelasan). Para siswa diajarkan untuk tabayyun ketika mendapatkan sebuah informasi baik melalui buku, media cetak maupun media elektronik.

    Reading Passport adalah program terstruktur di luar jam belajar formal. Dimana siswa diwajibkan untuk membaca beberapa buku dalam kurun waktu tertentu. Disamping membaca, siswa juga diwajibkan untuk meriview bacaan mereka dan menuliskan dalam sebuah tugas akhir dari program reading passport. Selain itu, para siswa juga diajarkan untuk melakukan diskusi atas bacaan mereka. Aplikasi dari bacaan tersebut dapat berupa majalah dinding, majalah sekolah atau bahkan menjadi referensi utama saat melakukan riset.

    Program ini diprediksikan akan berdampak positif untuk melawan peredaran berita bohong di kalangan masyarakat akademik, karena siswa dilatih untuk berpikir dan menganalisis persoalan kemudian mencari referensi-referensi terkait, sehingga didapatkan kesimpulan bahwa berita tersebut benar atau salah. Cara pandang dan kemampuan analisis merupakan hal yang sangat efektif dalam menyikap tabir kebohongan sebuah berita. Siswa dibekali kemampuan berpikir positif dan meneliti setiap bacaan sebelum mereka jadikan sebuah rujukan/referensi informasi yang mereka sebarkan kepada orang lain.

    Budaya literasi di sekolah merupakan hal yang seharusnya. Jika sebuah lembaga pendidikan tidak menumbuhkan budaya literasi di lingkungan sekolah, maka sekolah tersebut tidak layak untuk dijadikan sebuah tempat untuk mencari ilmu. Tentu di setiap tingkatan (grade) memiliki program dan terapan literasi yang berbeda-beda, disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan kesadaran masyarakat akademik yang ada di lembaga tersebut.

    Jika seluruh lembaga pendidikan melakukan gerakan literasi baik dari sesuatu yang sederhana seperti membaca dan menulis materi pelajaran sampai dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan yang penuh dengan pentingnya literasi tumbuh subur di sekolah, diantaranya adalah mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan perpustakaan sekolah atau perpustakaan pribadi setiap kelas, menyediakan waktu baca dan menulis selain pelajaran, membuat majalah dinding, membuat majalah sekolah (cetak) dan lain sebagainya. Maka, hoax atau berita bohong akan hilang perlahan namun pasti.

    Masyarakat yang pintar tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan satu sama lain. Generasi selanjutnya tidak akan termakan dengan informasi palsu karena sudah ada di dalam dirinya kemauan dan kemampuan untuk melawan sesuatu yang merugikan dirinya dan juga orang lain, diantaranya dengan menumbuhkan budaya literasi: membaca, menulis dan menganalisa informasi yang didapatnya melalui berbagai media.

    Wallahu A’lamu bi al-Showab…..

    Ditulis oleh Ust. Saeful Arif

    Tags
    Penulis:

    Seorang guru di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 2

    Leave a comment

    %d bloggers like this: