• +622159576882 |+622159576730
  • [email protected]

    Artikel dan Berita Pondok Pesantren Daar el-Qolam

    Catatan Akhir Sahabatku

    Hawa sejuk mulai terasa setelah 6 jam perjalanan menuju kota Garut. Tepatnya di desa Cikandang, di rumah temanku Yogi. Keluarga Yogi pun menyambut baik kedatangan kami dengan ramah sesuai adat mereka. Setelah itu kami berbincang-bincang sedikit dan lalu beristirahat.

    Tiga jam berlalu untuk istirahat. Aku, Yogi, Salwa, Vina, dan Zaki pergi menuju Curug Orok yang paling beken di kabupaten Garut yang tak jauh dari rumah Yogi. Sebelumnya, kami harus melewati perkebunan teh yang hijau membentang luas dan kami pula harus menuruni sengkedan dari tembok yang panjangnya sekitar 100 meter untuk sampai air terjun Curug Orok yang tingginya 20 meter itu. Udara dingin, suara derasnya air, desiran tumbuhan dan sinar matahari yang sedikit panas memberikan kesejukan kepada kami sehingga kami lupa waktu.

    “Rafli, sudah jam 4 sore nih!”, Zaki mengingatkanku.

    “Baiklah, mari kita kembali untuk bersiap-siap pendakian gunung Papandayan” jawabku

    Setengah jam lagi ya!” keluh Salwa

    “Tidak, kita harus kembali sekarang untuk mempersiapkan segala kebutuhan mendaki gunung” tegasku

    Tampak kekecewaan di muka Salwa, tetapi aku harus dapat membagi waktu. Lagi pula, Salwa bukanlah wanita cengeng, karena ia dapat menggunakan otaknya untuk menyelesaikan permasalahannya, bukan perasaan.

    <><><>

    Semua peralatan sudah kami persiapkan. Mulai dari tenda, lampu senter, peralatan P3K, hingga jarum dan benang jahit kami bawa. Kami mulai pendakian melewati jalur kedua perkebunan Cisarum, desa Cikandang pada pukul 18.30.

    “Duh Rafli, suasananya seram banget. Bulu kudukku merinding nih!”, Salwa ketakutan

    “Tenang saja Sal, kita bersama-sama!” jawabku

    “Dasar anak mami, enggak pernah keluar malam ya?” ejek Zaki, ia membalikkan badannya

    “Hi…hi…hi” Zaki menakuti dengan wajah tersorot sinar lampu senter

    Ah……?!” Salwa dan Vina ketakutan

    “Dasar bodoh, hampir aja jantung gue mau copot” kesal Salwa

    “Haa…haaa…” kami tertawa

    Salwa tersipu malu, kepalanya menunduk, pipinya memerah, ia tersenyum kecil, tertawa.

    “Ssst…jangan tertawa terus menerus, nanti jadi seram beneran” aku mengingatkan

    Lalu kami melanjutkan pendakian. Di sepanjang jalan yang kami tempuh, mulut ini tak henti-hentinya mengucapkan kalimatullah demi keselamatan kami dalam pendakian dan tidak menemukan sesuatu yang tak terbayangkan.

    <><><>

    Sejauh ini, pendakian kami masih lancar, belum ada hambatan yang menghentikan pendakian kami. Hawa pun semakin lama semakin dingin, jaket yang kukenakan tak begitu dapat melindungi tubuhku dari dinginnya angin malam. Bintang pun terlihat seolah-olah sangat dekat dariku. Sinar rembulan terlihat begitu redup menembus cela-cela pepohonan. Keseraman malam pun menjadi indah .

    “Rafli, lihat di depan jurang” tunjuk Yogi

    Langkah kami terhenti, berpikir cara melewati jurang tersebut. Hanya satu cara, jalan setapak.

    “Hanya satu cara, jalan setapak”, tunjukku

    “Kamu Gila Rafli? Kalau begitu aku bisa mati”, bantah Salwa

    “Jalan setapak, jurang, terpeleset, mati deh!” gurau Zaki

    “Dasar kutu….”, Salwa tidak melanjutkan perkataannya

    “Sudah diam!” celaku, “Sebaiknya kita putuskan apakah kita harus melanjutkan pendakian ataukah kita kembali?” tanyaku pada semua

    Semua diam. Berpikir mempertimbangkan. Lalu Vina angkat bicara, “Lebih baik kita lanjutkan. Lagi pula sayang, kita sudah setengah jalan.”

    “Bagaimana dengan yang lain?” tanyaku kembali

    Semua mengangguk mengiyakan usul Vina. Kami memulai pendakian melewati jalan setapak.

    “Rafli, kamu kan ketua, duluan ya!” pinta Vina

    “Baiklah kalau begitu, mari kita berdoa terlebih dahulu agar kita selamat dari pendakian ini. Berdoa, mulai” pimpinku, “Berdoa selesai”.

    “Aku di belakang Rafli ya!” pinta Salwa

    “Mari berpegangan tangan…” perintahku

    Kami semua berpegangan tangan agar jika salah satu dari kami terpeleset, yang lain dapat menolongnya. Dengan hati-hati, kami mulai melewati jalan setapak yang kira-kira sejauh 12 meter. Tak ada satu pun yang berani menatap ke bawah. Rasanya, kaki ini seperti batu, tak dapat aku gerakan.

    <><><>

    Selamat dari jurang, kami disambut pemandangan indah Pondok Saladah yang merupakan areal padang rumput seluas 8 Ha yang terdapat di ketinggian 2288 Mdpl. Banyak ditumbuhi tanaman Edelweis yang abadi dan tidak mudah layu serta memiliki aroma yang khas. Di daerah ini pula terdapat sungai Citarum yang airnya mengalir sepanjang tahun. Sayangnya, kami tak dapat menikmati pemandangan tersebut, karena kami harus melanjutkan perjalanan untuk mencapai puncak. Padahal, tempat ini adalah tempat yang amat bagus untuk perkemahan.

    Semakin lama dan semakin tinggi pendakian yang kami lakukan, suasana menjadi seram. Banyak bangkai binatang kami temukan. Tumbuhan yang tumbuh pun berbeda dengan tumbuhan sebelum pada umumnya. Hambatan jalan licin pun menjadi suatu kesulitan bagi kami. Perlahan, kami melewati jalan licin tersebut.

    “Debuuuuuuuk…” suara sesuatu terjatuh.

    “Zaki…” teriakku, sedangkan Salwa dan Vina hanya menggigit jari dan menangis ketakutan melihatnya.

    Zaki terjatuh ke dalam sebuah lembah yang terselimuti kabut yang begitu tebal. Kami tak dapat melihatnya.

    “Zaki…” teriakku

    “Zaki…” teriak Vina

    Tak ada balasan dari Zaki. Entah apa yang terjadi, mungkin ia takkan terselamatkan. Kami semua menangis. Vina akhirnya jatuh pingsan.

    Tags

    Leave a comment

    %d bloggers like this: