Sebagai orang yang tercatat menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), pernah berstatus Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi Diksatrasia) juga penghafal teks Sumpah Mahasiswa bahkan Sumpah Pemuda. Ternyata saya baru sadar akan pentingnya menjunjung bahasa Indonesia (bahasa persatuan) yang konon adalah bahasa kejujuran, bahasa tanpa kebohongan, dan bahasa tanpa kemunafikan.
Saya adalah seorang aktivis yang tidak sedang menyoal tentang ketertindasan rezim pemerintahan, tidak sedang melawan ketidakadilan, tidak sedang berjuang kesejahteraan, tidak sedang membela hak-hak yang mengatasnamakan rakyat Indonesia. Saya hanyalah segelintir orang pemerhati peristiwa tentang ketidak-pedulian, tentang kesalah-kaprahan, tentang ketidak-cintaan, tentang kehakikatan, tentang jati diri mengenai bahasa. Ya, bahasa Indonesia, bahasa yang termaktub di poin ketiga dalam teks sumpah mahasiswa juga sumpah pemuda. Bahasa yang sejatinya menyatukan keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang ada di Indonesia.
74 tahun kita merdeka, sudah sepatutnya tidak diragukan lagi dalam hal menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Namun dalam implementasinya, kini sebagian besar bangsa Indonesia hanya mampu menyemarakkan kecintannya dalam bentuk perlombaan dan upacara saja. Tanpa tidak lagi mengimplementasi dalam kesehariannya untuk bagaimana sesungguhnya cara bangsa Indonesia mencintai dan membanggakan negaranya sendiri. Mengapa demikian? Nyatanya hari ini Indonesia masih terjajah oleh bangsanya sendiri. Salah satunya adalah menyoal kebahasaan, bahasa persatuan (bahasa Indonesia). Pada kondisi hari ini, masih banyak yang terlena dengan penggunaan bahasa asing, bahasa alay, bahkan bahasa yang tidak jelas asal-usul bahasanya. Mereka lebih asik menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Dengan alasan; bahasa asing lebih keren, bahasa alay lebih gaul, dan bahasa Indonesia hanya terkesan kaku. Benarkah pemahaman mereka yang demikian? Apa mungkin ini hanya soal rasa saja?
Sebelumnya, dalam konteks ini, yang perlu digaris bawahi adalah bukan bermaksud benci dengan Bahasa asing, namun ini hanyalah menyoal prioritas di rumahnya sendiri (baca: Negara). Harus kita ketahui bersama, menggunakan bahasa Indonesia bukan soal mencari kebenaran, bukan soal kebakuan, bukan juga soal ketidakgaulan. Ini hanyalah soal bangsa yang ‘katanya’ berjiwa nasionalis, beridealis juga pancasilais. Ini tentang kita, bangsa Indonesia, yang terlalu bersusah payah berjuang pada hal-hal besar menyoal penghinaan landasan kenegaraan, simbol persatuan, warisan budaya, apalagi tentang kemerdekaan. Tapi kita telah lupa, pada hal-hal kecil, yang sebenarnya berdaya cermin jati diri bangsa.
Jujur saja, saya masih takpaham—mungkin juga awam—atas perilaku kita sebagai bangsa Indonesia dalam hal memaknai jiwa nasionalis. Biasanya hanya bisa mengkritik, memboikot, menghakimi, dan bertiak ‘Hidup Indonesia’ jika ada hal yang menyikut harga diri bangsa Indonesia. Seolah-olah kita telah percaya diri pada prilaku yang kita anggap baik dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Pertanyaaannya yang mendasar; apa yang sudah kita lakukan untuk Indonesia? Sudahkah kita bangga menggunakan bahasa Indonesia? Sudahkah kita memprioritaskan bahasa Indonesia dalam komunikasi antarteman, antarmedia sosial, antarperusahaan, antarkomunitas, dan antar-antar lainya?
Tahukah kalian, apa saja ciri-ciri orang yang mencintai Indonesia? Mohon berikan jawabannya selain orang yang memahami teks pancasila dan UUD, selain merayakan hari pancasila, selain memahami sejarah kemerdekaan, selain merayakan hari kemerdekaan, selain menjaga tanah air, selain mengingat nama para pahlawan, selain toleran terhadap perbedaan, selain merawat warisan budaya, selain menciptakan prestasi, selain menjalankan upacara setiap hari Senin, selain mencari kemenangan atas kedamaian, selain memilih-menggunakan produk Indonesia, selain memakai aksesoris merah putih untuk menjadi suporter pertandingan timnas Indonesia. Ya, selain jawaban itu, adakah ciri lain yang mencintai Indonesia?
Menurut saya, selain ciri-ciri yang telah dipaparkan sebelumnya, mencintai Indonesia yang paling penting (juga) adalah orang yang mampu memelihara, menggunakan, mencintai, memprioritaskan dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Demikian adalah hal konkret untuk bagaimana mencintai Indonesia. Bukan malah mengenyampingkan, sehingga orang-orang banyak membanggakan bahasa asing dan bahasa alay ketimbang bahasa Indonesia.
Mengapa saya menekankan bahwa salah satu mencintai Indonesia adalah mencintai bahasa resminya? Karena fenomena di zaman sekarang ini, orang biasanya sudah tidak peduli lagi pada penggunaan bahasa Indonesia. Akibatnya, di masyarakat banyak yang salah kaprah dan “membudaya” mengenai kaidah, makna dan arti sesungguhnya bahasa Indonesia. Mirisnya lagi, orang-orang lebih prioritas menggunakan bahasa asing dan alay sebagai ajang eksistensi masa kini. Apa mungkin Bahasa Indonesia tidak menjadi ajang eksistensi masa kini?
Bukankah kata ‘swafoto’ lebih keren daripada kata ‘selfie’, kata ‘sepakat’ lebih keren daripada kata ‘fix’, kata gawai lebih keren daripada kata ‘gadgets’, kata ‘cemburu’ lebih keren daripada kata ‘jelous’, kata ‘warganet’ lebih keren daripada kata ‘netizen’, kata ‘setop’ lebih keren daripada kata ‘stop’. Bukankah lebih indah juga jika melihat kata ‘fotokopi’ ketimbang kata ‘fotocopy’, ’photocopi, ’fothokopi’, ‘photocopy’, dan kata foto-foto aneh lainya. Bukankah ujaran ‘sedang di jalan’ lebih nyaman ketimbang ujaran ‘on the way’, ujaran ‘selamat ulang tahun’ lebih nyaman ketimbang ujaran ‘happy birthday’, .
Aneh saja jika bangsa Indonesia tidak tahu menahu tentang bahasa persatuannya sendiri; tidak ada keinginan untuk belajar, tidak ada keinginan untuk mencintai, bahkan tidak ada keinginan untuk memprioritaskan. Mirisnya lagi, bangsa Indonesia lebih mahir dalam hal Ujian Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing daripada Ujian Kemahiran berbahasa Indonesia. bukankah ini pantas dikatakan sebagai kutu loncat? Sudah menguasai Bahasa Internasional tapi belum mampu menguasai Bahasa Nasional. Sungguh memalukan!
Semenjak saya sadar akan pentingnya eksistensi bahasa Indonesia, saya mulai mengubah kebiasaan hidup saya dalam berbahasa. Saya mencoba tidak terlalu sering menyingkat kata, mengenyampingkan penggunaan bahasa asing, mengoreksi kata, bahkan kerap kali mengajak orang di sekeliling saya untuk menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun dari beberapa peristiwa ajakan itu, saya selalu diejek karena terlalu kaku, terlalu formal, terlalu menggurui, dan lain sebagainya. Padahal, saya hanya mengajak untuk menggunakan Bahasa Indonesia sesuai konteksnya. Tapi tak mengapa, ini adalah bentuk perjuangan saya dimasa kini. Semoga bangsa yang besar ini, sadar akan pentingnya berbahasa Indonesia, karena bahasa kita patut untuk diperjuangkan kembali.
Sebagai penutup, mari kita gaungkan jargon kita; Kuasai Bahasa Asing, Utamakan Bahasa Indonesia dan Lestarikan Bahasa Daerah.
Ditulis oleh Al-Ustadz Mohamad Syahril Romdhon, Guru Bahasa Indonesia Pondok Pesantren Daar el-Qolam 2.
Disunting oleh Bagian Publikasi dan Website.