• +622159576882 |+622159576730
  • [email protected]

    Artikel dan Berita Pondok Pesantren Daar el-Qolam

    Ada Akhlak di Atas Kritik

    Suatu ketika, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Fir’aun, sebab ia telah berbuat arogan, tiran atau melampaui batas. Tetapi Allah berpesan kepada Musa dan Harun untuk mengingatkannya dengan ungkapan yang santun agar ia menyadari dan ingat akan kesalahannya. Cerita itu tersurat dalam al-Qur’an surat Thâhâ ayat 42 dan 43 yang berbunyi :

    اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ … فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

    Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; [42] maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. [43]

    Kita bisa membayangkan, kepada seorang Fir’aun yang tiran, Allah SWT memerintahkan kepada kedua rasulnya itu untuk menyampaikan kritik atau peringatan dengan kalimat yang santun.

    Di sekitar kita mungkin banyak yang tiran, penguasa yang tiran, tetapi rasanya tidak setiran Fir’aun zaman Nabi Musa dan Harun. Tetapi mengapa ada di antara segelintir orang yang memperlakukan mereka jauh dari perlakuan terhadap Fir’aun ? yang tidak mengedepankan etika, kesantunan dalam menyampaikan aspirasi dan unjuk perasaannya?

    Kritik adalah suatu interaksi yang sangat umum terjadi di antara dua orang manusia. Semakin luas pergaulan kita, semakin sering pula kita menemui pola interaksi kritik ini. Dengan adanya perbedaan pola pikir dan selera, maka bisa dipastikan bahwa tidak seorang pun yang bisa menghindar dari kritik atau mengkritik.

    Kritik yang baik sudah pasti diperlukan. Tidak ada manusia yang sempurna dan tidak pernah melakukan kesalahan. Para Nabi dan Rasul pun membuat kesalahan. Nabi Adam as. melakukan kesalahan hingga ‘terlempar’ dari surga yang serba nyaman. Nabi Yunus as. melakukan kesalahan sehingga diuji dengan ‘dikurung’ di dalam perut ikan paus agar beliau bisa merenungkan kesalahannya. Nabi Musa as. ditegur beberapa kali oleh Khidhir karena ketidaksabarannya. Nabi Muhammad saw. pun jelas-jelas pernah berbuat salah, bahkan kritik terhadap dirinya dicantumkan dengan jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an, misalnya pada surah ‘Abasa.

    Bedanya, para Nabi dan Rasul selalu dipelihara dari kesalahan. Artinya, mereka selalu mendapat teguran langsung dari Allah SWT jika mereka telah bersalah. Dengan demikian, mereka segera menyadari kesalahannya, memohon ampun kepada-Nya dan Allah pun akan segera mengampuni mereka. Keberuntungan semacam ini tidak dinikmati oleh orang awam seperti kita. Kita membutuhkan orang lain untuk memberikan kritik, agar kita sadar akan kesalahan-kesalahan kita.

    Masalahnya, kemuliaan kritik ini kemudian dicemari oleh sebagian manusia yang tidak paham cara melakukannya. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan sebelum kita melancarkan kritik kepada orang lain. Antara lain mengukur baik-baik kesalahan orang.

    Kesalahan itu bertingkat-tingkat. Mencuri pakaian yang sedang dijemur tentu tidak sama dengan korupsi milyaran rupiah. Membunuh kambing peliharaan tetangga pun tidak sebanding dengan membunuh sang tetangga. Demikian pula masalah-masalah khilâfiyah tidak semestinya ditanggapi dengan tuduhan murtad dan semacamnya. Ini adalah suatu sikap yang berlebihan.

    Setiap orang pasti membuat kesalahan. Sebesar apakah kesalahannya, mungkin relatif jika dibandingkan dengan kebaikannya? Barangkali seseorang membuat sebuah kesalahan, namun kebaikannya seratus kali lebih besar daripada kesalahannya itu. Dengan demikian, tidak perlu kita membuatnya malu dengan mempersalahkannya di depan umum atau menghakiminya seolah-olah ia tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali. Sekali lagi, ukurlah baik-baik.

    Tahu diri adalah sebuah prinsip yang harus dipegang erat-erat oleh setiap Muslim. Kita harus mempertimbangkan kapabilitas diri kita sendiri sebelum mengkritik. Pantaskah orang awam yang baru hapal satu-dua ayat mencela seorang ulama terkemuka yang dikenal berjasa? Tentu tidak. Bukan berarti ulama itu tidak mungkin salah. Masalahnya adalah si pengkritik tidak mampu berbuat lebih baik daripada sang ulama.

    Kritik adalah suatu fenomena yang tidak dapat dihindari dalam hidup kita. Karena itu, alangkah baiknya jika kita mempelajari cara terbaik dalam memberikan kritik.

    Lihatlah kasus yang terjadi jika kritik tidak mengedepankan akhlak. Seperti kasus demonstrasi yang terjadi di sekitar kita. Dari yang menghujat, mencaci, mencela sampai dengan melakukan tindakan kekerasan yang menghilangkan nyawa seperti yang terjadi di Sumatra Utara. Bagi segelintir orang yang melihat itu hanya bisa mengelus dada, menggelengkan kepada seakan-akan tidak cara lain selain unjuk rasa yang mengerahkan banyak massa. Iklim demokrasi dan reformasi di negeri ini melahirkan banyak orang yang merasa bisa tetapi tidak bisa merasa. Merasa bisa memimpin tetapi tidak bisa merasa betapa sulitnya memimpin.

    فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَ لَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَ اسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَ شَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
    [٣:١٥٩]

    Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [al-Quran, Surah Ali `Imran, Ayat 159]

    Al-Qur’an jelas-jelas memerintahkan untuk mengedepankan dialog atau musyawarah untuk menyelesaikan perkara sepanjang persoalan yang diperdebatkan bersifat khilafiyah, ijtihadiah atau keduniaan yang bersifat zhanni. Marilah kita memahaminya al-Qur’an lebih serius lagi dan mengamalkannya dalam kehidupan kita. Sebab kitab itu bukan karya manusia yang punya salah dan lupa, melainkan karya sang Maha Pencipta Allah SWT.

    Allâhu a`lamu bi-s-shawâbi…

    (Ust. Saeful Bahri, M.Si)

    Tags

    Leave a comment

    %d bloggers like this: